Sajak Verbal dari Sang Babil untuk Para Hamba Kapital Berotak Bebal


Kebencian tak butuh kiasan
Metafora berlapis makna hanya akan memperlambat rencana
O caci o maki
mari berkoloni, menjelma puisi
Di kertas ini tugas baru sedang menanti.

Tak peduli puisi ini dianggap pamflet
Dianggap orasi basi pun bukanlah suatu perkara
Murka adalah yang pertama, estetika ada di urutan ke tiga belas
Tempat segala sial menuntut balas.
Indah tak indah berbeda di setiap kepala. Nah!

Ketika segala tindakan melulu transaksi
Untung haruslah diakumulasi dan rugi haruslah dibasmi

Ah setiap kaki melangkah, selalu terjebak dalam neraca

Hidup tidak serupa rumus matematika
Segala hal diukur dari angka per angka
Satu ditambah satu sama dengan dua
Dalam kenyataan setiap angka tak pernah bisa dibagi rata

Puisi ini tidak untuk dibaca, tapi untuk dilempar
Ke muka para hamba kapital berotak bebal
yang tak pernah puas memintal modal

Rasakan!
(semoga tepat sasaran)
Depok, 3 Maret 2011

Mengejar Sepi yang Telah Mati

Aku dan sepi memang sering tak akur
Ia sangat gesit melompat dan meluncur
seperti David Belle sang pencipta parkour
Sedangkan aku cuma pemuda lamban yang gemar mendengkur
di segala tempat yang selalu kuanggap sebagai kasur

Lantas dunia ini menjelma pasar malam yang berisik
Semua gemar berteriak seperti penumpang jet coster yang sedang menukik
Seperti sekumpulan gelas plastik yang terinjak oleh kaki-kaki berbau tengik
Dan aku pun menjadi si tukangtidur yang terusik

Tutup telinga tak cukup untuk menghentikan ribuan masalah
Sedangkan berdiam diri akan melahirkan rasa bersalah

Sepi telah berada jauh di depan
Aku terdiam dengan sorotan mata penuh harapan
Aku harus mengejarnya meski harus meninggalkan dipan

Di kemudian hari Denny berkata ribuan sepi telah melakukan hara-kiri
Namun aku sudah terlanjur berlari, dan pantang bagiku untuk berhenti

Lantas orang-orang berteriak: “Mau kemana? Sepi sudah mampus!”
“Ke sana!” jawabku sambil menunjuk sebuah jalan yang lurus.


Jagakarsa, Selasa 11 Mei 2010, Pukul 09:00

Kosong

Saat ini aku sedang berada tepat di hadapan jendela yang tertutup. Orang-orang berkumpul di belakang punggungku. Mereka sudah seperti sekumpulan suara yang tak memiliki raga. Ada yang berbisik. Ada yang berisik. Ada yang berteriak. Ada yang bergumam. Ada yang menghasut. Ada yang merajuk. Aku mendengar percakapan mereka, tapi aku tak tahu seperti apa rupa mereka. Aku tak ingin menoleh ke belakang lagi. Cukup. Sekarang adalah awal bagiku untuk selalu menatap ke depan. Di hadapanku, daun jendela tampak sudah tak sabar untuk segera terbuka. Aku tidak tahu apa yang akan aku temui di luar jendela sana. Mungkin ada matahari yang siap membakar. Mungkin ada awan hitam yang siap memuntahkan air hujan. Mungkin ada angin yang sedang mengamuk. Mungkin ada pucuk pohon yang sebentar lagi akan rubuh. Mungkin ada rembulan yang selalu kesepian. Mungkin ada teralis besi yang siap mengekang. Mungkin….

Sebelum jendela itu terbuka, tiba-tiba saja aku merasa kesepian sekali. Benar-benar kesepian….

Seandainya Pistol Dijual Bebas dan Membunuh adalah Perbuatan yang Tidak Dimurkai Tuhan….

Seandainya pistol dijual bebas dan membunuh adalah perbuatan yang tidak dimurkai Tuhan, maka yang akan aku lakukan sekarang adalah membeli pistol tersebut, menghubungi Mark Chapman, dan bertanya bagaimana caranya agar bisa meledakkan kepala seseorang dengan menggunakan pistol—sebagaimana yang pernah ia lakukan terhadap kepala Lennon. Setelah itu, aku akan mengucapkan sebait kata terimakasih kepada Chapman, untuk kemudian menghampiri meja kerja kalian satu persatu dan meledakkan kepala kalian tanpa mengucapkan kata permisi atau permohonan maaf terlebih dahulu. Setelah segalanya selesai, aku akan beranjak pulang dan menganggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ode untuk Kita

Saat ini aku dan kamu telah menjelma kita

Dan kata-kata telah terbentang menjanjikan sebuah cerita

Cerita tentang metafora dan matahari, tentang bintang dan narasi

O, adakah yang lebih indah dari ini?

Dan di hadapan kita pintu-pintu telah terbuka, mari melangkah

Bukan untuk langkah kakiku, bukan untuk langkah kakimu

Melainkan untuk langkah sepasang kaki kita yang akan mengantar kita

ke depan gerbang semesta yang belum sempat kita sapa

Dan kita sama tahu,

Bahwa pernikahan adalah cawan pemberian Tuhan

Tempat segala suka tertuang

Tempat segala duka terbuang

______________________________

Sajak sederhana ini didedikasikan untuk sepasang manusia yang baru saja menggenapkan agamanya: Nurhadiansyah & Mailinda Safitri

Penulis Itu Mencopot Kedua Tangannya dan Membuangnya ke Tempat Sampah!

Penulis itu mencopot kedua tangannya dan dibuang ke tempat sampah. Kedua tangannya itu menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang pingsan. Ada kegetiran yang begitu abstrak yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata memang tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal. Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu. Ia sudah bertahun-tahun menjadi penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu pun masih kurang tepat. Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia ciptakan. Alasan mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak ingin menulis lagi.

Bunga yang Tak Ada di Taman

Jika kamu adalah bunga, maka kamu adalah bunga yang tidak pernah ada di taman
sebab telah aku curi dan kusimpan dalam kamar.
 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates